AIR MATA PENGGUGAH

Senandung kasih berlabuh di dermaga hati, menebarkan pesona indahnya dunia, menerpa setiap relung jiwa, menghiasi setiap langkah kaki menuju mimpi. Di bawah naungan atap pesantren kusandarkan cita-cita, meniti mimpi menuju gerbang harapan.
Dalam heningnya suasana malam, semilirnya angin menghanyutkanku dalam lamunan, ku coba cari arti rasa yang selalu membuatku bingung, kadang aku merasa bahagia, sedih, hawatir, risau, dan gelisah. Akhir-akhir ini, mata hatiku selalu tertuju pada seseorang yang selalu melantunkan ayat suci Al-Quran dengan merdunya, ketika lantunan itu kudengar maka semua seakan telah terlupakan, suaranya telah meluluhkan hati yang lama terasa hampa, menumbuhkan semangat hati menggapai impian. Hatiku berkata “ya Allah jika ini yang disebut cinta maka aku berharap engkau berikan yang terbaik untuk kehidupanku, andaikan saja kehadirannya membuatku lupa diri-MU, maka lebih baik aku mederita memendam perasaan ini, hingga suatu saat nanti engkau yang berikan kebahagiaan untukku.”
Hari-hari ku jalani dengan harapan, harapan hati mengukir kasih, meniti sejuta pesona aura cinta, berlabuh dengan mimpi-mimpi yang terlukis indah dan menjadikanya seperti ratu di hatiku. Seiring jalannya waktu tragedi kisah cintapun terukir indah menata setiap langkah-langkah kaki.
Di suatu malam ku buatkan syair-syair kasih yang menceritakan tengtang cinta yang akan aku persembahkan untuk pesona hatiku.
党Dinda, terpautku dalam rasaku, hatipun selalu memaksa agar rasa ini bisa terungkap, tak berlebihankah jika hati mengatakan cinta, tanpa mengharapkan jalinan kasih. Biar saja kata ini terungkap tanpa harus saling memiliki, karena agama tercinta kita telah membatasi jalinan itu.”
Serasa lega hatiku setelah semua rasa terungkap. Dalam penantian, ku selalu memohon kepada Allah, andaikan saja dia yang terbaik untuk kehidupanku, semoga saja aku bisa bersabar menunggu waktu, mananti takdir menyatukan rasa ini. Tapi, seandainya dia bukan yang terbaik untuk kehidupanku, aku berharap Allah meberikan yang lebih baik untuk kehidupanku.
AKu buka sebuah surat bersampul ungu, yang aku dapatkan dari sahabatku. Perlahan-lahan kulepas tali pita indah penghias surat itu, sebagai balasan suratku minggu lalu, berdebar-debar jantungku, bibirpun seakan bergetar tidak mampu ungkapkan kata apapun, dalam hatipun bergejolak semua rasa, seakan tak sabar dengan isi surat itu. Ku coba tegarkan hati agar aku bisa membacanya hingga aku bisa memahaminya.
党Kakak ku, tak pantas hati mengungkapkan kata ini, tapi sejauh apapun aku menghindar dari rasa ini, mata hati tetap tertuju pada kenyataan, bahwa memang hati sedang merasakan hal yang sama, tapi biarkanlah aku menyimpan semua rasa cintaku di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, dan akan kutebarkan pesonanya ketika Allah meridhoi harapan ini, aku tidak ingin merasakan cinta buta yang hanya membawa kita pada lembah kemaksiatan, tapi aku ingin merasakan cinta suci yang membawa kita pada kebahagiaan. Aku berjangji akan selalu menunggumu hingga suatu saat nanti Allah menyatukan semua rasa ini. Gapailah semua mimpimu, hingga aku pun bisa merasakan kebahagiaan itu. Adikmu: “......”
Sejenak ku tak bisa berkata-kata, tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi, aku sungguh kagum akan akhlaknya, kata-katanya telah membangkitkan semangatku untuk melangkah menggapai mimpi, aku berjangji pada hatiku, seandainya Allah memberikan ridhonya, aku pasti akan selalu setia menanti bersatunya cinta dan kasih sayang di bawah naungan atap agama tercinta ini.
Hari terus berganti, dua tahun sudah aku merasakan cinta yang begitu indah walau hanya tersimpan dalam hati, tapi aku bahagia karena aku tahu bahwa dia juga memendam perasaan itu. Namun ternyata rintangan itu kini datang menghampiri, dan aku tak tahu apakah semua harapan akan cintanya bisa terwujud, kini aku harus meninggalkan kampung halamanku sendiri, karena cita-citalah yang memaksa aku harus pergi, aku telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di kota bandung, karena disanalah semua mimpi bisa kugapai.
Pagi yang redup, mentaripun seakan mengikuti alur hati yang sedang pilu, hari ini aku berangkat menuju kota bandung. Kupandangi wajah orang-orang yang kusayangi, begitu besar harapan mereka padaku, begitu rindunya mereka akan kesuksesanku. kutatap wajah ayah yang sudah mulai tua dan badan yang kurus karena terlalu banyak menanggung beban hidup, kupandangi kedua bola mata ibu yang telah lama meneteskan air mata sebagai bukti kasih sayangnya yang begitu tulus, tak terasa air mataku menetes ketika tatapan adikku kudapati, kulihat air mata membasahi pipinya seakan tak merelakan kepergianku, indahnya kasih sayang yang telah lama terbina kini harus rela jauh, ruang dan waktu akan memisahkan jalinan hati yang penuh dengan kasih, kerinduan akan selalu membayangi ketika raga tidak bisa lagi betemu. Ku coba tegarkan hati untuk mengucapkan kata-kata perpisahan, “Ayah, Ibu, Adikku....! ijinkanlah aku pergi untuk menggapai semua mimpiku, relakan aku jauh demi menggapai kebahagian hidup, iringilah langkah kakiku dengan doa agar segala kemudahan bisa ku dapatkan, aku berharap ini adalah awal dari semua mimpi dalam hidupku, tapi seandainya kehendak Allah lain pada kehidupanku, dan aku tidak bisa menggapai semua harapan ini, bahkan ini adalah kata terakhir yang terungkap, aku berharap aku diberi kesabaran dan ketabahan dalam menjalaninya. Tanpa ku duga di sela-sela tangisnya, adikku yang dari tadi terdiam membisu, berkata dengan nada lirih yang membuat rasa pilu semakin mendalam, “Kakak ku, aku akan selalu berharap kakak bisa kembali dengan membawa sejuta harapan, aku akan selalu menunggumu dalam setiap detik dan hembusan nafasku, doaku dan kasih sayangku akan selalu menyertaimu.”
Pelukan hangat ayah dan ibuku mengantarkan ku pergi menggapai mimpi di kota orang itu, air mata setiap penggugah menetes sebagai bukti kasih sayang dan harapan yang begitu besar. Ku coba langkahkan kaki dengan tegar, kubawa semua harapan keluargaku dan kekasihku. Kutekadkan hati dengan keyakinan agar semua mimpi bisa tercapai.
(Empat tahun kemudian!)
Sebuah rumah megah yang dihiasi oleh taman bunga di halaman rumah yang begitu indah dan teratur rapih, dua buah mobil melengkapi kemegahan rumah itu, itulah rumah yang kutinggali sejak aku menginjakan kaki di bandung ini, karena dulu aku tidak membawa uang yang cukup untuk mengontrak kostan, akhirnya aku bertemu dengan seorang dermawan dan baik hati, dia menolongku dan mengijinkan aku tinggal di rumahnya. Kasih sayangnya sama seperti orang tuaku sendiri, tak pernah membedakan antara aku dengan putrinya yang baru keluar dari SMA, dia tidak melanjutkan sekolah karena setahun terakhir ini, dia terus sakit-sakitan, bahkan kata dokter penyakitnya sudah mulai parah, dan kecil kesempatan untuk sembuh kembali.
Sudah dua tahun aku tidak pulang ke kampung, karena jarak yang jauh dan banyak sekali tugas akhir yang dibebankan oleh dosen, kerinduan kepada orang tua dan adik tercinta selalu membayangi setiap langkah kaki, tapi aku harus sabar karena lima bulan lagi aku akan menyelesaikan kuliah ini. Malam ini aku sedang menunggu Tari, putri orang tua angkatku di bandung, sudah dua hari dia dirawat di rumah sakit. Ku pandangi wajah ayah dan ibu angkatku, seakan tertekan oleh cobaan yang diberikan kepada anaknya, di sela-sela kekhawatiran dia menatapku, seakan menyimpan sebuah harapan yang begitu besar. Dengan nada berat dia berkata padaku, “Anakku, ada suatu hal yang ingin ibu katakan kepadamu, tadi siang dokter mengatakan bahwa kita tidak punya harapan yang besar untuk kesembuhannya, tapi setidaknya ibu punya harapan padamu, seandainya Tari harus meninggalkan kita, ibu ikhlas, tapi ibu ingin memberikan kebahagiaan kepada anak ibu. Tari mencintaimu dan ibu berharap ketika dia menjalani sisa hidupnya dia bisa merasakan kebahagiaan dari orang yang dicintainya”. Serasa lemas semua persendianku, tidak pernah terpikirkan olehku tengtang hal ini, selama ini aku telah menganggap Tari seperti adikku sendiri, tapi apakah gerangan yang membuatnya mencintaiku. Aku tidak bisa menolak semua permintaan ibu angkatku, karena begitu banyak jasa dan kebaikannya selama ini padaku, tapi di sisi lain aku tidak ingin menghianati jalinan kasih dan cinta suci yang telah kubina selama ini.
Ketika kebingbangan merasuk di hati, ketika aku harus memilih mana yang terbaik untuk kehidupanku. Sejenak ku tutup ke dua bola mataku, dan ku bidik kemana arah tunjuk perasaan dan bola mata hatiku, ku cari di relung-relung hati tengtang arti sebuah pilihan, dan ternyata takdir tuhan menentukan bahwa aku harus bisa memberikan kebahagiaan kepada ibu angkatku. Di sela-sela tetesan air mata ku buatkan sebuah surat untuk adikku yang telah lama menunggu.
党Adikku, maafkan kakakmu! karena baru saat ini kakak bisa mengirim surat untukmu, sebenarnya berat sekali kakak harus mengungkapkan semua gejolak hati yang mungkin akan membuat adik kecewa, kakak tahu! kakak salah telah melakukan ini,tetapi lebih salah lagi seandainya kakak tidak jujur padamu. Ternyata, apa yang kita risaukan selama ini terjadi, semua harapan tidak bisa kita wujudkan, karena memang takdir Allah berpihak lain pada kita, kakak berharap adik mengerti tengtang ini, aku doakan semoga kebahagiaan selalu menyertaimu, terimalah orang yang mencintaimu, karena sesungguhnya kita memang harus bahagia dengan cinta yang tulus. Biarkanlah masa lalu menjadi kenangan terindah yang akan terukir rapih di lubuk hati yang paling dalam. Maafkan kakakmu, Tarji.” diiringi deraian air mata kukirimkan surat itu sebagai bukti kasih sayang dan harapan kehidupan yang bahagia untuk orang-orang yang aku cintai.
Hari yang terasa berat ku jalani, tanpa bathin merelakan sepenuhnya, sebuah tragedi baru pun terjadi, diawali dengan akad pernikahan tanpa dihadiri oleh kedua orang tuaku, karena jarak yang begitu jauh. Mereka hanya mengirimkan surat dan merestui pernikahanku. Hari-hari kujalani dengan sabar, kisah cinta masa lalu ku kubur dalam-dalam di relung jiwaku, ku titi jalan baru dengan harapan hidup yang begitu besar, walau hati tidak bisa dibohongi bahwa rasa cinta masih tersimpan utuh pada adikku tercinta.
Seperti dalam sebuah sandiwara, kehidupan tidak akan lepas dari bahagia dan sedih, ketika kebahagiaan aku dapatkan, ternyata aku harus merelakan semua hilang di telan takdir, kisah tragedi baru pun berakhir menyisakan semua luka di hati. Setelah dua bulan kami menjalin hubungan rumah tangga, Tari harus berbaring lagi di rumah sakit, semakin hari sakitnya semakin parah, hingga suatu ketika ketetapan Allah menjawab semua kerisauan dan kagelisahan hati, orang yang baru saja ku cintai dengan setulus hati, kini harus pergi memenuhi panggilan Allah, membekaskan semua luka dan derita yang begitu mendalam. Hilanglah semua harapan yang pernah tumbuh beberapa waktu yang lalu, berganti dengan perihnya hidup menghadapi kenyataan yang ada. Tetapi aku harus selalu sabar karena inilah yang terbaik untukku. Aku harus merelakan dia pergi mengunjungi kebahagiaan yang sesungguhnya.
Lima tahun sudah aku berada di bandung dan sekarang sekolah ku sudah selesai, aku berniat untuk pulang dahulu ke kampungku sebelum aku meniti mimpi di tempat lain. Aku tak mengerti dengan perasaanku, seakan aku akan mendapatkan hal yang lebih menyekitkan hatiku, di setiap titian jalan ku selalu memohon semoga kedua orang tuaku di beri kesehatan, dan adikku yang pernah menjadi pesona hatiku mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang mencintainya.
Ku tatap dari jauh sebuah rumah panggung tempat aku dilahirkan, tempat aku meniti mimpi ketika aku kecil dulu, ku percepat langkahku karena sudah lama tidak bertemu dengan kedua orang tuaku, saat mereka melihatku, mereka berlari dan memelukku, seakan kerinduan yang telah lama di nanti kini tercurahkan dengan kehadiranku. Dengan air mata bahagia dia berkata lirih, “Anakku, temuilah keluarga orang yang mencintaimu dulu! ibu berharap engkau bisa bersabar”. Tanpa aku bertanya banyak kepada ibu, aku langsung menemui keluarga fitri, hatiku berdebar, apa yang terjadi pada fitri?. Ketika aku duduk di hadapan mereka, kulihat ibunya menangis dan berkata terbata-bata, ayahnya diam membisu seakan menyimpan kekecewaan yang begitu dalam, kemudian si ibu mengeluarkan sebuah kertas bersampul ungu sama seperti yang aku terima dulu ketika pesona kasih terjalani. Ku buka perlahan dengan hati berharap tidak terjadi apa-apa pada adikku.
党teruntuk kakakku!
Terperanjat aku dalam linangan air mata, terluka hati dengan harapan yang hilang, terkapar perasaanku di pantai yang kering, sedih, luka, dan derita menghantui setiap hembusan nafasku, kenapa kakak tidak menepati jangji?, sudah lama aku menunggumu kembali dengan sejuta harapan, agar bunga cinta menjadi mekar dan menebarkan wangi di setiap terpaan angin harapan. Tetapi aku sadari, untuk menggapai cinta yang suci pasti harus ada pengorbanan, mungkin inilah pengorbanan ku yang pertama, merelakan hati terluka dan menderita untuk kebahagiaan orang yang ku cintai. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.”
Terasa lengkaplah semua penderitaan yang aku alami, aku tidak bisa menahan perasaan ku lagi air mata pun keluar menetes membasahi pipi, hilanglah semua harapan di hati, orang yang paling kusayangi di dalam hidupku, kini telah pergi bersama cintanya yang suci. Sesak dadaku menghadapi kenyataan ini, tapi bagaimanapun aku berlari dari hidup mata hati akan tetap tertuju pada kenyataan yang terjadi, aku harus sabar dan tabah menjalani ujian dan cobaan ini.
Kisah hidup yang penuh dengan liku-liku, tawa dan canda menghiasi semua tragedi kehidupan, kini aku mengerti tengtang arti sebuah pengorbanan di dalam cinta, walau raga tak bisa bertemu tetapi hati selalu merasakan rindu yang begitu mendalam, semoga harapan kasih dan cinta suci kita bisa kita bina ketika hari yang abadi menghampiri kehidupan kita kelak.
Ketika usiaku semakin bertambah, akhirnya kebahagiaan itu pun kudapatkan dari seorang wanita yang pernah menjadi sahabatku ketika aku kuliah. Allah pun menganugerahkan anak-anak yang baik dan soleh yang memberikan kebahagiaan dalam hidupku. Pengalaman yang berharga tengtang kasih dan cintaku telah membawa ku dalam langkah-langkah tegar menuju mimpi di kemudian hari.


Sebuah cerita yang telah saya buat untuk perlombaan Cerpen cinta”pada saat aku mulai masuk di Universitas Pendidikan Indonesia"

Entar Tarji